Sahabat menjadi seseorang yang
kedudukannya melebihi saudara di hidupmu. Memiliki makna lebih dari sekedar
untaian kalimat. Aku belum pernah memiliki sahabat yang sedekat ini sebelum aku
memasuki jenjang pendidikan SMP (Sekolah Menengah Pertama). Namun aku merasa
tidak pernah menjadi seorang sahabat yang baik untuk sahabatku. Ella, Ina, Rara
mereka adalah sahabatku waktu kami duduk dibangku SMP bahkan sampai saat ini
walaupun sejak enam bulan yang lalu kami sudah mulai jarang berkumpul.
Senang dan susah dipikul bersama-sama,
ketika kami lupa saling mengingatkan, kami merupakan bagian satu sama lain,
sahabat berada di atas segala-galanya. Begitulah gambaran sekilas tentang
perasahabatan kami. Kami sering sekali menjumpai konflik di dalam persahabatan.
Rasa iri yang timbul diantara kami, ego kami yang masih sangat besar. Namun
semua itu tidak cukup mampu untuk memisahkan kami.
Hingga akhirnya ketakutan kami semakin
dekat dengan perpisahan. Itu memang kelemahan kami. Kami terlalu takut untuk
berpisah. Kami takut tidak ada yang dapat menerima kami seperti kami menerima
satu sama lain di jenjang pendidikan yang akan kami tempuh nanti.
Ujian Nasional sudah dekat. Suatu sore
aku hendak pergi ke tempat les. Sebelum berangkat aku menelpon Ella untuk
mengajaknya berangkat bersamaku karena kebetulan dia juga ada les di jam dan
tempat yang sama.
“Ella les gak? Mamamu udah pulang
belum? Mau aku jemput?” tanyaku.
“Les
dong, tapi mama belum pulang jemput dong” katanya dengan cengengesan.
“Yaudah aku ke sana sekarang ya”. Begitulah
percakapan kami setiap sebelum berangkat les.
Setibanya di tempat les kami bertemu
dengan Rara yang sudah selesai lebih dulu karena dia mengambil jam lebih awal.
Layaknya tidak pernah bertemu kamipun saling menyapa dan ngobrol sana sini
hanya untuk melepas kangen, padahal pagi harinya kami baru saja bertemu.
“Rara udah dulu ya kita mau les nih udah telat banget” kata Ella
kepada Rara.
“Oh iya saking asyiknya sampai gak
kerasa. Semangat ya sahabatku” sahut Rara sambil memeluk kami.
Di dalam ruangan aku dan Ella tidak
banyak memperhatikan justru asyik dengan obrolan kami tentang masa depan kami.
Hingga pernah suatu ketika kami di tegur oleh mentor kami karena tidak
memperhatikan. Aku sama Ella ini memang yang paling dekat di banding dengan
Rara ataupun Ina. Karena kami selalu mengambil tempat les yang sama, guru
privat yang sama jadi yang mau tidak mau kami hampir seharian bersama-sama.
Bel sudah berbunyi pertanda les sudah
selesai. “El, kok cepet banget sih lesnya? ” kataku keheranan.
“Iyalah kita kan ngobrol, jadi ya tidak
terasa” jawabnya sambil mencubit pipiku. Itulah kebiasaan Ella yang tidak
pernah ia lewatkan setiap hari terhadapku.
Hingga suatu hari tiba di mana hari pelaksanaan
Ujian Nasional tingkat SMP ataupun MTs sederajat. Kami semakin merasa bahwa
perpisahan itu semakin dekat dan nyata sedangkan kami justru semakin dekat.
Hari pertama ujian itu kami lewati cukup sukses dilanjutkan dengan hari-hari
berikutnya selama empat hari.
Setelah serangkaian ujian kami tempuh tibalah
saatnya kami libur panjang sembari menunggu hasil ujian. Tiba-tiba saja handphoneku berdering malam itu. Aku
melihat di layar ternyata Ina sedang menelponku. Tumben sekali ini anak telpon malam-malam seperti ini batinku.
Dengan cepat aku mengambil handphone yang terletak diatas meja belajarku dan
mengangkatnya.
“Ya halo ada apa In? tumben banget
telpon” katau dengan sedikit tertawa.
“Tidak ada apapa kok Cuma kangen aja hehe”
jawabnya dengan singkat.
Namun tiba-tiba aku mendengar suara
yang tak asing lagi bagiku. Ya sepertinya itu suara kedua sahabatku Ella dan
Rara.
“In, kamu menyambungkan telpon ini ke mereka
ya?” kataku dengan penuh penasaran.
“Iya, tuh mereka yang minta” jawabya.
Malam itu kami habiskan dengan bercengkrama hingga larut malam dan kami
tertidur bersama dalam suara telpon.
Tidak terasa kami sudah menghabiskan
waktu liburan kami yang satu setengah bulan lamanya. Dan kemudian tibalah hari
penentuan yaitu pengumuman hasil Ujian Nasional. Semalaman aku menghubungi
sahabat-sahabatku untuk mencoba menenangkanku, karena jujur saja aku tidak tenang
malam itu. Ternyata mereka juga demikian. Namun mereka tetap memberiku
semangat. Mereka meyakinkanku bahwa aku, kita pasti lulus dengan nilai yang
memuaskan. Berkat semangat dari mereka akupun dapat terlelap walaupun masih
dengan perasaan yang tidak tenang.
Aku merasa malam itu berlalu begitu
cepat hingga tak terasa matahari sudah menampakkan wujudnya. Ketika aku bangun
aku melihat ayahku sudah bersiap untuk mengambil hasil ujianku dengan penuh
keyakinan. Ibuku masih sibuk dengan urusan dapurnya. Aku memandangi layar
handphoneku ternyata sudah banyak sekali pesan yang masuk, namun tidak satupun
yang aku hiraukan.
“Selamat pagi!” aku mendengar suara
yang sangat tidak asing ditelingaku. Ternyata Ina menelponku dan tidak sadar
aku telah mengangkatnya.
“Pagi juga.gimana hasil ujianmu In?”
tanyaku dengan cemas.
“Belum tahu soalnya ayahku belum
pulang. Udah yakin saja”. Aku hanya tersenyum mendengar ucapanya.
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas
siang. Namun aku tak juga melihat tanda-tanda ayahku pulang. Di telepon juga
tidak di jawab di sms apa lagi. Semakin membuatku khawatir.
Satu jam kemudian aku mendengar suara
motor ayah sedang parkir dihalaman rumah. Namun aku tidak sedikitpun melihat
senyuman di wajahnya. Teryata nilai yang aku capai belum sesuai dengan apa yang
mereka harapkan. Lagi-lagi aku sudah mengecewakan mereka terutama ayahku. Aku
hanya bisa menangis melihat hasilku namun ibuku selalu memberikan pengertian
bahwa dia tidak kecewa hanya saja menyuruhku belajar lebih giat lagi. Aku hanya tersenyum sambil meneteskan air
mata dipeluknya.
Hari demi hari telah dilewati sekarang
tiba waktunya untuk mencari sekolah. Kembali ibuku di sibukkan dengan masa depanku.
Tiba-tiba handphoneku bergetar dan aku melihat ke layar hp ada sebuah pesan
dari sahabatku Ella.
“Hai gimana kamu sudah dapat sekolah belum?
Alhamdulillah nih aku sudah dapat tinggal registrasi saja. Sukses dan tetap
semangat ya”.
Aku membacanya namun tidak langsung aku
balas. Aku sedih karena Ella sudah dapat sekolah itu artinya kita tidak akan
bersama lagi.
“Iya makasih ya Ella. Selamat ya semoga
sukses di sekolah barunya.”
Samar-samar dari kejauhan aku melihat
seorang wanita yang sepertinya aku kenal. Ina, ya dia sahabatku. Rupanya dia
ingin mendaftar disekolah yang sama denganku karena memang nilai kami tidak
jauh berbeda. Aku senang karena aku masih bisa berkumpul dengan salah satu
sahabatku.
Hari terakhir pendaftaran. Aku sudah
cemas begitu juga Ina karena melihat posisi nama kami di sekolah tersebut
semakin turun. Namun kami saling meyakinkan dan menguatkan. Handphoneku
berdering, ketika kuangkat aku tidak mendengar suara apapun namun hanya
tangisan perempuan. Aku panik. Sahabatku yang tiba-tiba menelponku menangis.
Dengan perlahan aku mencoba mengajaknya berbicara.
“Kamu kenapa Ra, apa yang terjadi? Coba
jelaskan aku nggak ngerti kalau kamu hanya
menangis saja” kataku dengan sangat lirih.
Rara masih terdiam dan enggan
berbicara. Namun tiba-tiba ada suara memanggilku. Rara sudah mau menceritakan
masalahnya kepadaku. Dan setelah aku beri saran dia langsung melaksanakannya.
Akhirnya pendaftaran sekolah tersebut
benar-benar ditutup. Dan aku, Ina, Rara resmi menjadi siswi di sekolah
tersebut.Bulan pertama. Bulan kedua kami masih sering pergi bersama dan
meluangkan waktu kami untuk berkumpul di tempat favorit kami yaitu rumah Ella.
Kami juga sering menceritakan tentang kejadian apa saja yang terjadi di sekolah
kami. Pengalaman menarik maupun tidak kami selalu berbagi.
Namun hal itu tidak berlangsung lama.
Semakin hari kami semakin menjauh. Semakin jarang berkomunikasi bahkan tidak
pernah sekalipun. Semakin banyak konflik yang tidak bisa lagi terselesaikan. Semakin
besar ego yang kami miliki satu sama lain. Hingga suatu hari aku berfikir bahwa
ketakutan kami selama ini benar-benar sudah terjadi. Perpisahan yang dikarenakan
keegoisan kini yang terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar